Minggu, 07 Mei 2017

MAYDAY: Buruh Menang, Mengadu Kepada Siapa Lagi??

MAYDAY: Buruh Menang, Mengadu Kepada Siapa Lagi??
Aldi Harbi
(Pengacara Publik LBH Padang dan Alumni IAIN Batusangkar)

Kemaren, hari Senin (1 Mei 2017) dunia memperingati hari Buruh Internasional (Red: Mayday). Buruh/ Pekerja mempunyai momen untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah ataupun perusahaan terkait dengan permasalahan yang mereka alami selama berkerja pada Perusahaan. Ada yang melakukan aksi damai, long march, Konperesi Pers, dll yang pada intinya menyampaikan aspirasi mereka supaya ada perbaikan masalah ketenagakerjaan. Di Indonesia sendiri, untuk memperingati hari Buruh, sejak tahun 2014 pemerintah menetapkan 1 Mei sebagai hari libur Nasional.

Permasalahan ketenagakerjaan di Dunia terkhusus di Indonesia, sejak awal abad 19 tercatat lebih kurang 13 (tiga belas) permasalahan ketenagakerjaan yakni, Pertama, pekerja banyak yang belum mendapatkan Perjanjian Kerja asli sebagai pengakuan hukum pekerja atas Hubungan Kerja. Kedua, Ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/ Kontrak masih bertentangan dengan aturan PKWT. Ketiga, masih banyak perusahaan yang belum memiliki Peraturan Perusahaan (PP) maupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Keempat, terkait Upah yang masih dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Kelima, waktu kerja masih banyak yang melebihi ketentuan waktu kerja, sebagaimana diatur
dalam Pasal 77 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). Keenam, masih banyak perkerja yang tidak mendapatkan Hak Lembur. Ketujuh hak Jaminan Kesehatan seperti BPJS Ketenagakerjaan. Kedelapan, Hak Cuti. Kesembilan, Hal berserikat, perusahaan sering menghalangi pekerja untuk berserikat, hal ini termasuk tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Serikat Pekerja . Kesepuluh outsourcing, yang seharusnya pekerjaan pokok pada Perusahan seperti posisi kasir, marketing tidak boleh lagi dengan sistem outsourcing, hal itu tetap dilanggar oleh Perusahaan. Kesebelas alasan PHK dan besaran pesanggon. Kedua belas, tidak taatnya Perusahaan terhadap Putusan Pengadilan. Ketiga belas, memperkerjakaan anak sebagaimana ketentuan Pidana Pasal 183 UUK. Bahkan Perusahaan yang melanggar permasalahan ini juga termasuk perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negera/ Daerah (BUMN/ D). 
http://www.valora.co.id/berita/7447/pengusaha-tak-jalankan-putusan-phi-era-itu-penghinaan-bagi-pengadilan.html 

Tahun 2016 tercatat Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Padang menerima 55 (lima puluh lima) kasus perselisihan hubungan Industrial, jauh naiknya jika dibandingkan dengan tahun 2015 hanya sebanyak 25 (dua puluh lima) kasus. Sedangkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang sebagai organisasi non pemerintah yang bersifat bebas (independen) juga menangani permasalahan perburuhan setiap tahunnya, tercatat pada tahun 2016 LBH Padang mengajukan gugatan ke PHI sebanyak 25 (dua puluh lima) kasus, namun kalau dihitung sejak Januari 2016 sampai April 2017 ada 40 (empat puluh) kasus perselisihan hubungan Industrial, dari 40 kasus yang telah diproses di Pengadilan Hubungan Industrial sebanyak 39 kasus adalah Permasalahan Perselisihan Penutusan Hubungan Kerja (PHK) sedangkan hanya 1 perselisihan Kepentingan. Dari 40 kasus tersebut sebanyak 57% damai, 25% gugatan dikabulkan, 2% ditolak, sedang proses Kasasi di Mahkamah Agung 13% dan 3% sedang diproses di Pengadilan. Lebih dari setengah kasus yang ditangani bersifat damai bukan tanpa sebab, hal itu dikarenakan melihat proses yang panjang dan sulitnya eksekusi di Pengadilan. Kasus-kasus yang damai tersebut sebenarnya jauh dari harapan pekerja yang menginginkan perusahaan membayar hak mereka sesuai dengan UUK, tetapi perusahaan tidak mau membayarkan sesuai dengan aturan UUK, akhirnya pekerja pasrah menerima apa adanya tidak sesuai dengan keinginan mereka dari awal.

Sebenarnya ini yang menjadi momok bagi pekerja apabila mengajukan gugatan ke PHI, sulitnya eksekusi di Pengadilan apabila pihak perusahaan dari awal tidak mau membayarkan hak-hak pekerja. Dari catataan LBH Padang dan juga kasus yang ditangani, sejak tahun 2006 sampai 2017 ini ada 13 (tiga belas) kasus yang belum dieksekusi oleh Pengadilan dengan 9 (sembilan) perusahaan. Perusahaan yang tidak mau membayarkan hak pekerja ini berupa pesanggon, bukan berarti mereka tidak ada uang, Perusahaan punya uang, bahkan mereka mau dan mampu membayarkan jasa Pengacara untuk persidangan yang nilainya lebih besar dari apa yang diminta oleh pekerja, tetapi mereka tetap bersekukuh tidak membayarkan hak pekerja mereka susuai dengan putusan Pengadilan dan Pengadilan pun tidak mampu memaksa perusahaan untuk membayarnya, hal ini tentu mencederai rasa keadilan dan juga sebagai bentuk penghinaan (contempt of court) terhadap institusi Pengadilan.

Eksekusi atas sebuah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap penyelesaian suatu sengketa di Pengadilan, dimana pihak yang menang berharap dengan dilaksanakannya putusan tersebut, maka pekerja akan mendapatkan haknya sebagaimana ditentukan oleh putusan Pengadilan. Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBG dikatakan “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi amar Putusan Pengadilan dengan damai maka pihak yang menang dalam perkara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjalankan Putusan Pengadilan itu”. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang kalah dalam hukum serta melakukan teguran (aanmaning) agar pihak yang kalah dalam perkara memenuhi amar putusan Pengadilan dalam waktu paling lama 8 (delapan) hari, sehingga dapat disimpulkan, eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan Pengadilan Negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam perkara menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya.

Terobosan Hukum
Tidak terlaksananya putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah berkekuatan hukum tetap ini, tentu membuat kekecewaan para pekerja yang telah menempuh waktu yang panjang menuntut hak mereka. Pekerja tentu mengharapkan sekali uang pesanggon sebagaimana putusan Pengadilan untuk menyambung hidup mereka dan juga modal setelah setelah selesai bekerja. Lawrence M. Friedmen menjelaskan bahwa hukum sebagai suatu sistem memiliki komponen-komponen sebagai berikut : Pertama; Struktur Hukum, kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri, seperti Pengadilan. Kedua; Subtansi Hukum, berupa norma-norma hukum seperti, Undang-undang Ketenagakerjaan. Ketiga; Kultur Hukum, berupa ide, sikap, harapan. Sehingga kita bisa melihat apa sebenarnya yang tidak berjalan dalam pelaksanaan putusan ini, apakah aturannya yang kurang atau lembaga seperti Pengadilan yang tidak bisa menjalankan aturan yang ada. Ajaran Islam dalam QS An-Nisa’ ayat 29 menyebutkan “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil”.

Ketika Perusahaan tidak mau membayarkan hak pekerja setelah adanya putusan Pengadilan, seharusnya Pengadilan harus bersifat tegas kepada perusahaan, Pengadilan tidak boleh lemah, bahkan Pengadilan bisa memaksa perusahaan dengan uang paksa (dwongdom) perhari keterlambatan dalam membayar hak pekerja ataupun dengan cara menerapkan lembaga paksa badan (gijzeling) sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan.

Pemerintah dalam hal ini Dinas Ketenagakerjaan juga bisa mengambil peran strategis demi berjalannya hukum sebagaimana mestinya. Pemerintah bisa saja memaksa perusahaan-perusahaan yang menentang putusan Pengadilan ini. Pemerintah bisa mengeluarkan peraturan ataupun Surat Edaran berupa tidak akan melayani urusan surat menyurat atau administrasi perusahaan pada Dinas tertentu kalau perusahaan tersebut masih mempunyai hutang-hutang seperti tidak membayar pajak dan tidak membayarkan hak-hak pekerja sebagaimana putusan Pengadilan. Kita melihat pada Pemerintahan Kelurahaan/ Nagari mengeluarkan aturan mereka tidak melayani surat menyurat warga yang belum membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) hal inipun bisa diterapkan pada pemerintahan kalau mereka ingin mengambil peran dalam persoalan ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar